GoGPT GoSearch New DOC New XLS New PPT

OffiDocs favicon

PMZ; Zaman Terjadinya Lembah Palu Tanah Kaili

Free download PMZ; Zaman Terjadinya Lembah Palu Tanah Kaili free photo or picture to be edited with GIMP online image editor

Ad


TAGS

Download or edit the free picture PMZ; Zaman Terjadinya Lembah Palu Tanah Kaili for GIMP online editor. It is an image that is valid for other graphic or photo editors in OffiDocs such as Inkscape online and OpenOffice Draw online or LibreOffice online by OffiDocs.

Bagian III
Zaman Terjadinya
Lembah Palu Tanah Kaili



Terjadinya Lembah Palu
Setelah membaca catatan-catatan di bagian sebelumnya, beberapa fakta yang dapat dikemukakan di bagian ini adalah, adanya:
a.\tTeluk yang mengarah ke Selatan hingga sampai di Bangga dan Sigi;
b.\tPeristiwa pengeringan air laut, diakibatkan perkelahian anjing Labolong dengan Belut Raksasa (Lindu).
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa dulunya Lembah Palu Tanah Kaili adalah lautan. Maka untuk menggambarkan proses terjadinya lembah ini, bagian berikut akan mengemukakan lebih dulu tentang beberapa hal, yaitu :

Struktur Daerah Ini.
Teluk Palu sendiri merupakan zone depresi yang pertama, mencapai teluk Rompi dan kemungkinan masih mencapai jauh ke Selatan Palolo (LV.Vuuren. 1916). Abendanon menamakan zone tektonis yang menyolok itu. Fossa Sarasina, menyamakan teluk-teluk tersebut dengan zone depresi, yang juga terdapat di Jepang dari arah Utara menuju ke Selatan. Perbedaannya dengan Jepang adalah, kalau di Sulawesi Tengah prosesnya belum selesai, gempah bumi masih sering terjadi dan tetap aktif. Dengan penyelidikan Abendanon, memungkinkan dipaparkannya secara singkat tentang zone pisah. Digambarkannya dalam skets (Baca : Doorkruisingen. Hlm. 911). Ia menjelaskan sebagai berikut :
\u201cBagian yang paling dikenal dari Sulawesi Tengah selama ini yaitu ke dua depresi yang saling memasuki daerah masing-masing, yaitu Depresi Teluk Palu dan Depresi Dataran Palu. Bersama dengan tanah pegunungan sekitarnya, menampakkan petak-petak kulit tanah yang berbentuk belah ketupat dan segi tiga, dimana sebagian besar petak-petak tanah belah ketupat dan segi tiga tersebut, tidak berhubungan satu dengan yang lain, dan telah terbawa pada nivonx-nivonx (lapisan tanah) yang berbeda. Melalui garisan pisah atau garis seismotektonis, petak-petak tanah ini menyambung. Garis-garis pisah yang paling menyolok dapat disebutkan diantaranya yang nampak pada skets\u201d.
Dari garis-garis skets yang diuraikan Abendanon, di bagian ini akan menjelaskan secara singkat berdasar pada uraian di atas, sebagai berikut :
Nampak pada sebelah Timur gunung Luaio (1964 m) dan ke sebelah Utara, pegunungan ini makin mendekat ke pantai. Sebelah Utara dinyatakan dengan jelas bahwa melalui perpisahan (lembah) yang dalam, antara pegunungan pantai di sebelah Utara Tanjung Tipo.
Di sebelah Timur memotong pegunungan \u201cleher\u201d dan agak dalam ke sebelah Barat, memotong teras-teras, keping-keping tanah pegunungan ini. Di pantai, tanah pegunungan Mamboro makin melebar ke sebelah Utara.
Menentukan dalamnya pantai pisah Tanjung Tipo sampai sebelah Utara Tanjung Tovaya, memanjang ke sebelah Selatan Tenggara di belakangan pegunungan pantai.
Sebagian pantai bagian Barat Teluk Palu dan yang selanjunya ke sebelah Selatan Tenggara, terdapat tepi pegunungan sebelah Timur yaitu depresi yang telah disebut semula.
Pantai Barat Laut Tanjung Tovali, ke sebelah Timur Laut memisahkan teras Timur batu kapur yang ke dua, ke tiga dan sebelah Selatan. Tanjung Tovaya pada arah yang sama merupakan batas antara daerah-daerah tepi pantai. Sejajar dan memisah teras yang pertama batu kapur koral di Donggala, dari teras batu kapur ke dua juga dengan teluk yang tajam sungai Donggala.
Lebih ke Selatan, sejajar pada teras batu kapur yang tertinggi dari Donggala, memisahkan dia baaporficet. Melalui Teluk Kabonga dan menentukan pantai yang terjal hingga ke Tanjung Tanameya di Pantai Barat. Ke sebelah Timur melalui Desa Dalaka dengan bukit tak berhutan yang makin ke arah Selatan tiba-tiba lenyap.
Bila ditarik sejajar melalui Tasiburi, maka akan memisahkan pegunungan yang agak rendah di sebelah Barat yang tingginya 600 m dari pegunungan yang tingginya 1200 m, sedang di sebalah Timur terdapat gunung pemisah di belakang Vani dan Tavaeli.
Penyelidikan-penyelidikan Weber juga menggambarkan bentuk Sulawesi di bawah laut, disempurnakan dengan logam-logam hasil penyelidikan dinasti hydrografis, untuk menunjukan depresi yang luar biasa, terletak di sebelah Timur pulau-pulau Vovoni dan Manui, hingga di dekat pantai pada pulau-pulau di sebelah Selatan dan di sebelah Utara pada pulau-pulau Sula (depresi Buton). Ke arah sanalah zone pisah ini bersambung dengan depresi Palu mengarah. Sebagai bukti dari sambungan seperti yang telah disebutkan di atas, Abendanon menyebut contoh-contoh depresi sebagai berikut : Lembah Danau Lindu, Depresi Napu dan Besoa, Depresi Danau Poso, danau-danau Matana,Tovuti, Mahalona dan Vovotua yang akhirnya menyambung ke depresi Buton.
Setalah mempelajari keadaan sepanjang pantai, terbukti daerah tepi pantai merupakan zone ke dua yang dapat disebutkan sebagai suatu data penting penggambaran pulau ini. Zone pertama ialah zone membentuk lembah (kemiringan lereng) dari Jampua ke Palima, dengan muara-muara sungai Sa\u2019dang yang lama dan yang baru; Kedua danau Sidenreng serta Lembah Ceniana, daerah dimana dulunya menurut penyelidikan Wichmann dan Sarasin bahwa dengan ditutupi laut pleistocen, merupakan daerah yang memisahkan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.

Zone Depresi Aktif.
Abendonan menarik kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang ditemuinya bahwa, Teluk Palu pernah membentuk suatu Danau Gunung dengan Dataran Palu di bagian Selatan.
Suatu hal menyolok ialah delta yang potongan-potongan batu dan sisa-sisa dinding, bersusun dimana bagian atas delta tersebut telah terbentuk pada waktu danau gunung yang tua itu ada. Kemudian susunan tanah terbentuk, setelah danau gunung itu runtuh dan hilang.
Bagian delta teratas, kini masih nampak menunjukan gerakan-gerakan tektonik yang telah mengakibatkan keringnya danau gunung yang tua itu.
Berdasarkan kenyataan bahwa di Pantai Barat Pangga, sebelah Selatan Teluk Kabonga dan di sebalah Timur yaitu Tovaya dan Dalaka, nampak batu-batu dasar yang sama.
Kelompok itu juga menyimpulkan bahwa mulanya di tempat yang sama, pantai Barat dan pantai Timur teluk, dulunya bersambung hingga merupakan tepi pantai Utara Danau Palu yang tua. Bendungan tersebut masih dapat ditemui pada masa kwartair, sebab penemu yang sama menyatakan bahwa di sebelah Utara bendungan itu, telah terbentuk Laut Pleistocen.

Penelitian Linguistik Historis Komparatif.
Dalam linguistik historis komparatif, meneliti hubungan antara ciri-ciri linguistik 2 bahasa atau lebih yang berkerabat. Ciri-ciri itu adalah bentuk pertuturan dan pemaknaannya. Penelitian ciri-ciri linguistik 2 bahasa atau lebih itu, ditemukan bahwa ada pasangan bahasa yang menunjukan lebih banyak persamaan dari pada pasangan lain. Dari persamaan-persamaan itu, dapat ditarik kesimpulan mengenai sejarah genetis dari bahasa-bahasa yang mempunyai hubungan lebih dekat, dari bahasa lainnya. Prosedur ini disebut Prosedur Pengelompokkan.
Salah satu cara pengelompokkan bahasa, dikemukakan oleh Dyen, dengan menggunakan Metode Leksikostatistik (suatu teknik yang mencoba menemukan data untuk kurun waktu yang agak lama, dalam suatu bahasa), seperti yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan buku ini.
Untuk lebih menjelaskan dalam kaitan proses di bagian ini, uraian bidang kebahasaan tetap dipertegas dan dilanjutkan dengan bahasan bahwa Leksikostatistik dipergunakan untuk tiga tujuan, yakni :
1.\tMenetapkan hubungan antara bahasa-bahasa;
2.\tMengklasifikasikan bahasa-bahasa yang berkerabat; dan
3.\tMenetapkan waktu perpisahan antara bahasa-bahasa yang berkerabat.
Dasar-dasar metode ini adalah sebagai berikut :
a.\tSetiap bahasa memiliki sejumlah kata yang tidak berubah. Kosa kata dasar ini meliputi kata ganti, kata bilangan, nama bagian tibuh dan sebagainya;
b.\tKosa kata dasar mempunyai retensi yang konstan sepanjang masa, artinya suatu prosentase tertentu dari kosa kata dasar akan tetap ada dalam bahasa itu.
Setelah 1000 tahun kosa kata itu akan mengalami pengikisan. Dalam 1000 tahun berikutnya prosentase dari sisa kosa kata dasar tadi, akan tetap sama;
c.\tBila prosentase dari dua bahasa kerabat diketahui, maka waktu perpisahan antara dua bahasa berkerabat tersebut, dapat dihitung.
Berdasarkan metode tersebut, penulis mencoba mengelompokkan bahasa-bahasa yang ada di Sulawesi Tengah dan mencoba menentukan waktu memancarnya bahasa-bahasa itu. Antara lain yang dapat dikemukakan disini adalah sebagai berikut :
a.\tMenghitung waktu memancarnya bahasa-bahasa tersebut (Glooto Chromologi bahasa yang diselidiki) berdasarkan rumus :
1.\tLama waktu : t - log C
\t\t\t\t 2 log r dalam ribuan tahun.
2.\tLama waktu :
log ( C + c [ 1 \u2013 cl ] )
. 100 .
\t 2 log r
\tRumusnya tl :
c ( l \u2013 c) \t
100
setelah dihitung jangka kesahan tl 100
2 log r
3. \tJangka kesalahan diperoleh dari t \u2013 tl
4.\tBerpisah dari bahasa purbanya tl th \u2013 t + (t \u2013 tl) tahun
C = prosentase kata-kata seasal dari dua bahasa
R = indeks retensi 86 %
b.\tSigi \u2013 Kaili, C = 90 %
0,0315 tl = x 100 = 24,4
0,1310

Jangka kesalahan 350 Thn \u2013 24 Thn = 326 thn.
Jadi memancarbya kedua bahasa itu terjadi :
350 + 326 tahun yang lalu = + 676 tahun yang lalu (tahun 1296)
c.\tSigi \u2013 Pakava = Sigi \u2013 Kaili, C = 90 % = Banava
d.\tSigi \u2013 Kulavi, C = 31%
tl = 541,98
Jangka kesalahan 698 \u2013 542 thn = 156 thn.
Jadi memancarnya bahasa itu dari dari bahasa purbanya pada tahun:698 + tahun 1430.
e.\tSigi \u2013 Pipikoro, C = 69 %
\ttl = 0,1330 x 1000 = 1015,26
0,1310
Jangka kesalahan 1231 \u20131015 = 216 tahun
Jadi memancarnya ke dua bahasa itu :
1231 + 216 = 1447 thn (thn 525) atau (thn. 957).
f.\tSigi \u2013 Napu, C = 60%
tl = 0,1878 x 1000 = 1433,58
0,1310
Jangka kesalahan 1693 \u20131433 = 259 thn.
Jadi memancarnya ke dua bahasa itu dari bahasa purbanya :
1693 + 259 thn = 1952 thn. lalu atau thn. 20-an
Melihat hasil perhitungan leksikostatistik tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa waktu memancarnya bahasa Sigi dari bahasa purbanya yang terakhir adalah pada abad ke XIII.

Hasil Ekskavasi dan Survey Kebudayaan.
Tahun 1980 Tim Pusat Arkeologi Nasional mengadakan survey dan ekskavasi di Teluk Palu, yaitu pada situs Pantoloan dan Baiya (Pantai Timur) serta Buluri dan Labuan Bajo (di Pantai Barat). Dari situs-situs tersebut, Tim melihat persebaran artefak berupa pecahan keramik lokal (gerabah dari barbagai bentuk wadah, non wadah), keramik asing dari berbagai dinasti antara Sung sampai dinasti Ching, juga pecahan keramik Eropa dan daratan Asia yang lain. Berbagai fragmen alat dari logam, manik-manik, gelang perunggu, sisa-sisa fauna laut (gastropoda dan pelecypoda), tulang binatang (bovidae, suidae) serta tulang-tulang manusia. Berbagai jenis temuan tersebut menunjukkan bahwa, lokasi-lokasi itu dimasa lampau pernah berfungsi sebagai situs pemukiman (settlement sites) dan situs kubur (burial-sites atau nekropolis).
Dari hasil wawancara, Tim mendapat gambaran tentang lokasi, jenis temuan, persebaran serta berbagai pola penguburan. Pokok-pokok masalah yang dapat diangkat dari hasil wawancara tersebut adalah :
1.\tPada umumnya di daerah pantai, temuan benda-benda kramik berasal dari dinasti Sung (1127 \u2013 1271), sedangkan ke dalam terdapat percampuran antara keramik Sung \u2013 Yuan (1277 \u2013 1297) dan Ming (1368 \u2013 1644). Makin ke arah pedalaman pada dataran-dataran dipuncak bukit (unduk), unsur-unsur dominan yang ditemukan adalah benda-benda keramik dari masa dinasti Ming (1368 \u20131644) sampai Ching (1644 \u2013 1911).
2.\tTemuan benda-benda keramik umumnya ditemukan dalam kaitannya sebagai bekal kubur (funeral gifts). Menurut pengakuan para penggali (liar), mereka juga mengamati peletakkan dan sikap individu yang dikubur. Keramik berupa piring sangat umum ditemukan pada bagian Kepala.
Buli-buli (istilah setempat : tongko-tongko) biasanya digegam pada telapak tangan, sedangkan senjata berada disamping tangan kanan merapat ke paha. Umumnya didapatkan yang menggunakan tombak, diletakkan di sebelah kiri dan parang di sebelah kanannya. Gelang perunggu juga ditemukan pada bagian pergelangan tangan/kaki, sedangkan manik-manik hanya terdapat di sekitar leher.
3.\tArah bujur individu yang dikubur umumnya dengan posisi kepala di Barat, Timur atau bagian Selatan. Menurut keterangan, arah bujur dengan kepala di Utara sangat jarang ditemukan.
Hasil ekskavasi ternyata dari 4 kotak ekskavasi, sebuah kotak perluasan. Tim dapat mengemukakan hasil pengamatannya sebagai berikut :
a.\tAreal di sekitarnya bukan merupakan areal kubur. Tetapi agaknya lebih merupakan areal pemukiman yang jenis dan populasi temuannya rendah. Hanya pada kedalaman rata-rata 45 cm. Ekskavasi di ketiga kotak, telah sampai pada strata asli yang merupakan endapan pasir dan kerikil yang telah steril atau tidak lagi mendapatkan temuan.
b.\tEkskavansi menghasilkan data penguburan yaitu terdapat dua individu yang dikubur dengan arah bujur yang sama, ialah Tenggara Barat Laut. Rangka lebih besar, sedangkan lainnya tidak lengkap dan hancur hingga sulit diidentivikasi arah bujurnya. Pada spit-spit di masing-masing atasnya, juga ditemukan yang sama jenisnya.
c.\tPengamatan terhadap bentuk-bentuk tepian dari keramik lokal (gerabah) menunjukan bahwa, di lokasi ini dikenal gerabah tipe cawan, periuk besar dan kecil serta wadah berleher tinggi. Pecahan gerabah yang berhasil dikumpulkan adalah gerabah berhias dan tak berhias (polos). Teknik hiasan yang nampak adalah teknik goresan dengan pola garis silang dan tumpal.
d.\tPopulasi keramik yang ditemukan sangat sedikit dibanding dengan temuan pecahan gerabah, pecahan keramik asing yang ditemukan umumnya keramik Cina dengan hiasan biru putih (saladon Sung).
e.\tFauna yang ditemukan dari seluruh kotak ekskavasi terdapat tulang sapi, kerbau, anjing, unggas, dan ikan. Tulang-tulang tersebut populasinya sangat terbatas.
Berdasarkan jenis-jenis temuan pada ekskavasi tersebut menunjukan bahwa, teluk Palu sebenarnya telah menjadi tempat bermukim berkisar abad ke XII (pada masa dinasti Sung-Ching).
Apabila dihubungkan antara fakta yang disebutkan dalam legenda Saverigading dengan fakta-fakta hasil penelitian ini, maka nampak titik temu jika dilihat dari fakta yang diungkapkan dalan penelitian geologi, mengenai struktur daerah ini. Ternyata terdapat bukti bahwa Teluk Palu merupakan zona depresi yang pertama, mencapai teluk Rompi dan kemungkinan masih mencapai jauh ke Selatan Palopo. Di samping itu, Abendanon juga menarik kesimpulan bahwa Teluk Palu pernah membentuk suatu Danau Gunung dengan Dataran Palu di Bagian Selatan.
Dari uraian di atas, dapatlah ditarik bagian-bagian mana yang memberikan kejelasan tentang proses terjadinya Lembah Palu. Jawaban di bagian-bagian itu merupakan satu kesatuan, jika melihat dan membaca peta keadaan Lembah Palu. Legenda Saverigading memang masih merupakan acuan awal, dalam memproses terjadinya Lembah Palu. Seperti yang dikatakan Prof. Dr. H.A. Mattulada dalam tulisannya To-Kaili menyebutkan bahwa \u201czaman Saverigading dalam epos Lagaligo diperkirakan berlangsung dalam abad IX dan X masehi\u201d, maka data ini menjadi acuan untuk melihat dimensi lainnya, seperti dihubungkan dengan hasil ekskavasi dan hasil penelitian linguistik historis komparatif, dilihat adanya titik temu. Hasil perhitungan leksikostatistik menunjukan bahwa memencarnya bahasa Sigi dari bahasa purbanya yang terakhir, diperkirakan pada abad ke-XIII.
Turunnya Masyarakat Pegunungan Ke Lembah
Pada abad X tercatat pula terjadinya gempa tektonik yang menyebabkan bobolnya Danau Gunung, mengakibatkan air laut menjadi kering.
Dalam ceritra rakyat Saverigading diriwayatkan setelah Lembah Palu menjadi kering, maka terbentuklah lembah yang luas di Parigi yang kemudian diikuti dengan terbentuknya kampung-kampung dan beberapa kerajaan dataran tinggi serta pegunungan seperti Bangga, Pakava, Banava, negeri Punde, Vongi, Lando dan Raranggonau disebelah Timur, dibukit-bukit dan lembah dipegunungan Umbuala Biro serta Masomba di sebelah Barat.
Mengenai latar belakang masyarakat dataran tinggi Palu, asal penamaan kampung-kampung diceritrakan bahwa, setelah Lembah Palu Tanah Kaili menjadi kering, seorang laki-laki dari Pakuli bernama Mpowulu pergi berburu di dekat Silonga. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan 2 orang kawannya bernama Guri dan Were. Mereka bertiga kemudian pergi bersama untuk berburu.
Telah lama berjalan, mereka belum juga mendapat hasil buruan. Mereka merasa kesal dan sepakat tidak akan pulang dengan tangan hampa. Hewan apa saja menurut mereka yang ditemukan, mereka akan buru dan tangkap.
Dalam keadaan kesal, seketika terlihat oleh mereka seekor Babi yang besar. Babi itu mereka buru bersama, akan tetapi tak berhasil ditangkap. Mpowulu memerintahkan kawannya, Guri dan Were mencari dan mengejar Babi yang bersempunyi disemak tumbuh-tumbuhan Sibalaya. Tempat persembunyian Babi ini sekarang, asal dibuatkannya nama Kampung Sibalaya.
Tak lama kemudian, Babi buruan itu muncul kembali dari semak rerumputan Sibalaya dan kembali oleh mereka mengejar. Untuk kedua kalinya Babi ini bersembunyi, masuk disemak tumbuh-tumbuhan. Semak tumbuhan ini dinamakan Sidondo, yang sekarang menjadi nama dari Kampung Sidondo. Setelah lelah mengejar Babi, mereka isterahat didekat pohon Vuno. Sekarang nama pohon ini dijadikan sebagai nama Kampung Vuno yang letaknya tak jauh dari tumbuhnya pohon itu.
Kemudian tak jauh dari tempat isterahat, kembali mereka melihat sebatang pohon berbuah yang sangat tinggi. Mereka menghampiri pohon itu dan mengambil buahnya. Dirasakan oleh mereka buah pohon itu, enak dan banyak tumbuh disekitar tempat. Mereka mengambil kesimpulan untuk menetap beberapa lama, dan sekarang tempat itupun dinamakan Kampung Kalukubula.
Demikian dilakukan berturut-turut. Semak tumbuh-tumbuhan yang dijadikan tempat persembunyian Babi itulah, yang sekarang dikenal dengan nama-nama Kampung. Seperti Sobovi, Dolo, Biromaru, Sidondo, Kalukubula dan lain-lainnya. Kesemua nama itu adalah nama tumbuh-tumbuhan.
Ketika Mpowulu, Guri dan Were menetap dan tinggal di Kalukubula, membumbunglah asap ke udara yang menjadikan perhatian bagi orang-orang dipegunungan. Masyarakat pegunungan berkata ; \u201cada orang tinggal didataran itu\u201d, yang akhirnya masyarakat Landopun kemudian turun ke dataran itu. Mereka meminta pada Guri sebidang tanah. Guri memberikan sebidang tanah yang letaknya di Biromaru. Masyarakat Kalinjo kemudian mendapat tempat-tempat di Vuno dan Petobo. Sedangkan masyarakat Tagari, memperoleh sebidang tanah pada bagian Barat pinggir gunung, namanya Tatanga. Masyarakat Binggi dan Dombu pada bagian Barat dipinggir gunung, pergi tinggal di Binangga. Dan masyarakat dari pegunungan Ulayo mendapatkan bagian tanah di Palu. Tempat itu dinamakan Volo-Volo-Vatu (Bolovatu Palu) artinya bambu yang menjalar.
Akhirnya masyarakat pegunungan pada bagian Barat, turun dan menyebar di dataran rendah lembah Palu. Masyarakat gunung pada bagian Timurpun menyebar pada dataran ini, yang diperkenalkan oleh Guri dan Were. Demikian halnya masyarakat Ulayo dan Bulunti, mengetahui adanya kehidupan di dataran lembah Palu, adanya asap menjulang tinggi yang berasal dari dataran lembah itu. Sebab pertama inilah yang mengakibatkan turunnya masyarakat gunung ke dataran Lembah Palu. Diriwayatkan, masyarakat pegunungan pada bagian Barat yang pertama datang di dataran rendah Palu. Pegunungan di bagian ini, tinggal orang-orang Punde yang terletak pada pinggir sebelah Timur. Pegunungan ini tak jauh dari Sigi.
Magau yang berasal dari orang-orang di bagian ini, memberi petunjuk apabila mereka pindah tempat, pergilah tinggal pada dataran Lembah Palu. Maka tinggalah orang-orang itu di dataran, menghasilkan turunan percampuran darah dengan orang Dolo dan orang Sambo.
Dalam riwayat lainnya, diceritrakan bahwa seorang yang berasal dari Pinggawanaba bernama Majampalomba, mengerjakan sebidang tanah untuk lahan perkebunan di dataran Lembah Palu, tanpa meminta pada tuan tanah di dataran itu. Riwayat ini dikatakan bahwa ia dikenal sebagai Puengiro atau tuan ompong. Tanah yang dikerjakannya itu, terdapat pada sebelah kiri sungai Palu sampai di Lontigi yang berhadapan dengan Dolo. Tanah kebun dikerjakan, mengakibatkan pada pinggir ladang menjadi satu bagian, hingga air dari sungai Palu dengan sendirinya menjadi satu arah. Dari Riwayat inilah yang barangkali dijadikan salah satu alasan adanya sungai Palu itu.
Kembali pada turunnya masyarakat di pegunungan, orang di Timbora meminta tempat di pegunungan Tatanga. Permintaan pertama diajukan pada tempat yang menjadi majampa lembah vala Palu (pagar dari Palu), dan yang ke dua diajukan pada tempat di Tatanga. Untuk Binangga terdapat orang-orang yang tinggal, berasal dari Volu dan Valavontu (pagar yang ujungnya rusak), serta pada bagian sebelah Utara Volu, masyarakatnya berasal dari Beka.

Kalukubula (Kelapa Putih).
Terjadinya masyarakat di tempat ini, tidak lepas dari peran Mpowulu, Guri dan Were, seperti yang telah diceritrakan sebelumnya. Asal tempat ini dari pohon berbuah dan tinggi yang tumbuh subur disekitar tempat, namanya Kalukubula. Kampung Kalukubulapun menjadi tempat yang ramai dipadati orang-orang yang turun dari pegunungan, dibawah pimpinan Guri dan Were. Turunnya masyarakat pegunungan ini, telah diceritrakan bahwa masyarakat Lando yang pertama turun ke dataran Kalukubula, ketika melihat kepulan asap yang dibuat Were dan Guri. Kemudian orang Landopun meminta pada Guri dan Were, tanah untuk dijadikan area pemukiman. Guri memberikan tanah yang terletak di Biromaru. Kemudian masyarakat Kalinjo, meyusul kemudian dan diberikan tanah pada tempat-tempat di Vuno dan Petobo. Masyarakat Tagari, memperoleh tanah di bagian Barat pegunungan, namanya Tatanga. Masyarakat Binggi dan Dombu kemudian diberikan tempat pada bagian Barat pegunungan, di Binangga. Sedangkan masyarakat dari pegunungan Ulayo mendapatkan bagian tanah di Palu. Tempat itu dinamakan Volo-Volo-Vatu (Bolovatu Palu) artinya bambu yang menjalar.
Orang Timboro, Pakava, Bavaoya turun ke bagian Barat, pertama di Tatanga. Masyarakat Kaliroya pindah ke Kolombio Raratandona, Tamangoli, Vera dan Vuno. Pemukiman mereka awalnya terisolasi dari pemukiman lainnya dan terpisah-pisah. Tempat itu disebut sebagai Ngata atau Ngapa. Kemudian pemukiman ini berkembang dan meluas, dimukim oleh orang-orang seasal yang disebut Boya. Tempat-tempat disekitar pemukiman ini, disebut Boyatonggo, Boyapolo, Boyaoge dan lainnya. Mereka membentuk komunitas-komunitas kecil dengan pekerjaan seharinya bertani dan nelayan. Dari tempat itupun, kemudian menjadi Kinta/Kampu (Kampung). Kampung itu dinamakan Kinta Baru (Kampung Baru) dan Ngapa. Daerahnya cukup luas yang didukung dengan tempat-tempat disekitarnya seperti Boya (Poboya). Pada Kampu ini, akhirnya membentuk sebuah Kerajaan lokal yang dipimpin oleh seorang Magau (Raja), dan pada abad XIV, kerajaan lokalpun berubah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.
Pada sebelah Timur sungai Palu, Biromaru, Vatunonju, Oloboju, Bora dan Sigi kemudian terdapat Kerajaan Kecil di Sigi dan Biromaru pada dataran rendah Palu. Sigampa, Pevunu dan Bambaru yang berseberangan dengan Dolo, menjadi Kerajaan Dolo.
Kerajaan-kerajaan kecil ini, kemudian menjalin ikatan melalui perkawinan dengan kerajaan-kerajaan di pegunungan, seperti Kerajaan Pakava, Bangga, Sigi dan Banava yang terletak didataran tinggi, mengelilingi lembah dan danau gunung Kaili yang kemudian menjadi Teluk Palu. Perkembangan itu terjadi sejak abad ke V sampai ke XIII. Zaman itu terdapat 2 Kerajaan yang dipimpin oleh seorang wanita, yaitu Kerajaan Bangga dengan Magaunya Vumbulangi dan Kerajaan Sigi dengan Magaunya Ngili Nayo.
Pada abad ke XIV sampai XV, berkembang pula kerajaan di dataran lembah Palu yaitu Kerajaan Palu dengan Magaunya Pue Nggari. Beliau dikenal sebagai Magau pertama, membentuk Negeri Palu. Peninggalan-peninggalan di zaman ini dikenal berupa anyaman, kain tenunan, peralatan rumah tangga dan kelengkapan upacara adat, terbuat dari perunggu dan kuningan. Peralatan rumah tangga seperti Poido Gala (Lampu Dinding), Poindo Lana (Lampu Minyak) yang terbuat dari perunggu/kuningan.

Masyarakat Asli Lembah Palu.
Dataran lembah Palu dan di sepanjang Teluk Palu, bermukim To-Kaili (orang Kaili) sebagai satu kelompok etnis di kawasan ini. Masyarakat lembah Palu, terdiri atas beberapa kelompok sub-etnis atau kelompok, dengan dialek-dialek bahasa masing-masing.
Menurut petugas berkebangsaan Belanda dalam bukunya Nota Van Toelichting Betreffende de Zelfbesturende Landschappen Paloe, Dolo, Sigi, Beromaroe. 1912, menyatakan bahwa di lembah Palu itu terdapat 4 kelompok (tribe), yaitu :
1.\tTo-ri Palu;
2.\tTo-ri Sigi;
3.\tTo-Biromaru; dan
4.\tTo-ri Dolo.
Pemukiman awal ke 4 kelompok kelompok itu menurut catatan, ditemukan sebagai berikut :
To-ri Palu; bermukim pada bagian Utara lembah, sepanjang dua sisi muara sungai Palu. To-Sigi dan To-ri Biromaru; bermukim di bagian Selatan To-ri Palu, sebelah kanan aliran sungai Palu, dengan perkecualian di bagian kecil sebelah Utara Vuno, disana berdiam To-ri Dolo; bermukim di sebelah Selatan To-ri Palu, bagian kiri pada aliran sungai Palu. Di lereng-lereng gunung bagian Utara lembah Palu, juga telah berdiam sejak dahulu kala masyarakat yang disebut To-Lare (orang gunung). Di samping To-Lare tedapat pula To-Petimpe, yang berdiam di lereng-lereng gunung sebelah Utara lembah, terutama di Palolo. To-Petimpe secara etnis, tidak hubungan banyak dengan masyarakat asli lembah Palu. Menurut berbagai keterangan, To-Petimpe keturunan To-Balingga dari Tana Boa di Teluk Tomini. To-Pebato yang mungkin merupakan satu kelompok dengan mereka, berdiam di muara sungai Puna. Lebih ke Utara lagi, sebelah Timur sungai Palu, terdapat negeri kecil yang disebut Raranggonau. Masyarakatnya menurut Hissink, berasal dari Dolago di Teluk Tomini. Dikatakan lebih lanjut bahwa sebuah desa besar di Dolago yang disebut Korentu`a, dibumihanguskan dalam peperangan melawan To-Parigi. Maka To-Raranggonau, berpiundah tempat ke sebelah Timur Biromaru. Pada bagian yang agak jauh ke Selatan lembah Palu, sekitar Gumbasa, Miu, Sakuri di daerah aliran sungai Palu, terdapat 2 kelompok kelompok, yaitu To-Pakuli yang bermukim di sekitar Gumbasa dan Miu, dan To-Sakuri yang bermukim di sekitar Miu. Disana terdapat negeri yang dinamakan Bangga. Masyarakatnya menggunakan bahasa yang sama dengan To-Pakuli (orang Pakuli).
To-ri Palu dan To-ri Biromaru.
Masyarakat lembah Palu, berasal dari pegunungan di sekitar lembahnya. Ketika bermukim di dataran lembah Palu, sejak awalnyapun mereka telah berkelompok dalam tiga kelompok, yaitu : To-ri Sigi, To-ri Dolo dan To-ri Palu. Menurut keterangan yang belum begitu jelas bahwa, ke tiga kelompok ini acapkali sering berperang. Mereka bermukim di lembah Palu, dan masing-masingnya memilih tempat yang terlindung dari upaya serangan terbuka, pihak lawan. Ada kecenderungan bahwa tempat pemukiman mereka, sengaja dibuat terisolir guna mempertahankan serangan satu sama lainnya.
To-ri Palu yang mendiami wilayah Palu, berasal dari pegunungan sebelah Timur. Tempat di pegunungan itu, terdapat satu tempat yang dinamakan Buluvatumpalu. Untuk mengingat penamaan tempat itu, maka Buluvatumpalu (bambu kecil) dipilih, karena banyak terdapat pohon bambu di sekitar tempat. Mereka menjadikan tempat pemukiman di muara sungai besar, yang sekarang dinamakan Sungai Palu. Letak tempat inipun diperkirakan berada di salah satu tempat, yang disebut Raranggonau.
Adapun To-Biromaru diduga keras berasal dari leluhur yang sama, dengan To-ri Palu. Orang-orang didua tempat ini, menggunakan dialek bahasa Kaili-Ledo. Pengelompokkan terjadi, hanya disebabkan oleh letak pemukimannya. To-Birimaru mendiami tempat yang lebih ke dalam, di daerah lereng dan lembah subur. Sedangkan To-ri Palu bermukim di sepanjang pesisir pantai dan sungai Palu. Pemisahan tempat menjadi dua kelompok itu, terjadi sebelum abad XVII.
To-ri Sigi dan To-ri Dolo.
Menurut catatan Valentijn (1724) bahwa, To-ri Sigi dan To-ri Dolo diperkirakan telah bermukim di lembah Palu pada akhir abad XVII atau permulaan abad XVIII. Ke dua kelompok ini, menggunakan dialek bahasa Kaili yang sama, yaitu dialek Kaili-Ija. Hal ini menunjukkan bahwa mereka berasal dari leluhur yang sama. Akan tetapi, sejarah awal kehidupan mereka, diwarnai dengan permusuhan dan peperangan antara sesamanya.
Ke dua kelompok ini, sebelum bermukim di lembah Palu menurut Hissink bahwa, sebelum To-ri Sigi bermukim di lembah Palu, yaitu di Bora, Vatunonju, Oloboju dan Sigi, leluhur mereka bermukim di sebelah Utara Danau Lindu di lereng-lereng gunung, di tempat-tempat pemukiman yang disebut Leu, Silonga, Vovolau, Ue-Malaei dan Sigipulu. Sedangkan untuk To-ri Dolo, menurut ceritra rakyat dikatakan berasal dari daerah pegunungan di atas sebelah Utara, letaknya di tempat-tempat pemukiman yang bernama Dolo, Maru dan Pompevajo. Tempat-tempat ini terletak di lereng-lereng gunung sekarang dan tidak diperoleh petunjuk yang jelas, nama tempat-tempat pemukiman mereka. Walaupun demikian, satu keterangan menunjukan bahwa pemukiman To-ri Sigi terletak di sekitar Palolo, dan tempat-tempat pemukiman awal To-Dolo, justru terletak di sekitar tempat To-ri Palu sekarang.
To-Pakuli, To-Bangga, To-Baluase, To-Sibalaya, To-Sidondo.
To-Pakuli, To-Bangga, To-Baluase, To-Sibalaya, dan To-Sidondo adalah kelompok-kelompok kecil. Mereka bermukim di sebelah Selatan tempat pemukiman To-ri Sigi. Mereka menggunakan dialek bahasa Kaili yang disebut Ado dan Edo. Dialek Ado sangat dekat pada dialek Ija, yang dipergunakan To-ri Sigi. Sebelum mereka bermukim di lembah Palu, diperkirakan mereka berdiam di lereng-lereng pegunungan sebelah Timur dan Tenggara lembah Palu.
To-Tavaeli (To-Payapi).
Di lembah sebelah Utara Napu, zaman dahulu terdapat sekelompok yang menamakan diri To-Tavaeli atau To-Payapi. Karena berbagai gangguan oleh kelompok di sekitarnya, mereka pindah melewati sebelah Utara Danau Lindu, melintasi Sigi dan akhirnya sampai ke Budong-Budong, sebelah Selatan Donggala di pantai Selat Makassar. Sebagian lagi, menetap di Sausu, Dolago dan Parigi. Sekarang, To-Tavaeli bermukim diwilayah Kecamatan Tavaeli yang terletak di sebelah Utara Kota Palu. Dalam ceritra rakyat, samar-samar dalam ingatan penuturnya mengatakan bahwa To-Tavaeli barasal dari bagian Selatan pantai Selat Makassar.
To-Lindu.
Orang-orang disini bermukim di sekitar Danau Lindu. Mereka percaya dan mengatakan bahwa nenek moyang berasal dari lembah Palu. Para Pemimpin Adat Lindu atau keturunan mereka yang ada sekarang, selalu menyatakan diri berasal dari Sigi di lembah Palu. Keterangan seperti itu juga dijumpai, umumnya di masyarakat lereng-lereng pegunungan sebelah Selatan lembah Palu, bahwa nenek moyangnya berasal dari Sigi.
To-Banggakoro.
To-Banggakoro mendiami daerah pegunungan jauh di sebelah Barat Kulavi, dikatakan kebudayaannya lebih banyak bersentuhan dengan kebudayaan Mamuju di Pantai Barat dan kebudayaan lembah Palu di sebelah Utara. Asal mula masyarakatnya, tidak ditemukan lagi dalam ceritra-ceritra rakyat. Akan tetapi besar kemungkinannya, kelompok ini mempunyai persamaan dengan masyarakat Bangga yang berasal pada bagian Selatan lembah Palu.
To-Tamungkolovi dan To-Tabaku.
To-Tamungkolowi dan To-Tabaku, berdiam di atas pegunungan sebelah Barat Kulavi. Tidak ditemukan legenda ataupun ceritra-ceritra rakyat tentang asal-usul mereka. Berbagai ungkapan melalui benda-benda budaya sub etnis ini, seperti pakaian adat, alat perhiasan wanita dan kelengkapan rambutnya, umumnya terdapat pula pada To-ri Palu di lembah Palu. Dari pengamatan itu, yang lebih mendekatkan bahwa To-Tamungkolowi dan To-Tabaku, awalnya berasal dari bagian Selatan lembah Palu.
To-Kulavi.
To-Kulavi berdiam di sebelah Selatan Danau Lindu. Menurut legenda, mereka berasal dari Bora dan Sigi di lembah Palu. Menurut ceritra rakyat, pada zaman dahulu, ada seorang bangsawan dari Bora bersama pengikutnya pergi berburu ke hutan-hutan sampai pada Gunung Momi di daerah Kulavi. Para pemburu berteduh di bawah pohon yang sangat rimbun dan lebat daunnya. Pohon itu oleh mereka dinamakan pohon Kulavi. Jenis pohon itu sekarang, tidak ditemukan lagi.
To-Sausu, To-Balinggi, To-Dolago.
Diantara sungai Tambarana dengan Parigi di Pantai Timur Sulawesi Tengah, terdapat tempat-tempat yang disebut Sausu, Tana Boa dan Dolago. Di situlah kelompok yang menamakan diri To-Balinggi dan To-Sausu berdiam. Menurut ceritra, baik To-Sausu maupun To-Balinggi berasal dari keturunan yang sama, disebut To-Lopontato, bermukim di lereng-lereng gunung. Kelompok ini sangat erat hubungan dengan To-Parigi. Adapun To-Dolago menurut ceritra itu, juga merupakan satu keturunan dengan ke dua kelompok lainnya, yaitu To-Sausu dan To-Dolago. Kemudian ke dua kelompok itu, memisahkan diri karena keadaan alam, tetapi tetap merasa mempunyai hubungan kekeluargaan dengan To-Parigi dan To-Sigi.
To-Parigi.
Parigi terletak di sebelah Utara Sausu, di Teluk Tomini. Pada umumnya masyarakat Parigi percaya bahwa nenek moyangnya berasal dari lembah Palu. Akan tetapi dalam perkembangan masyarakat Parigi selanjutnya, banyak menjalin hubungan dengan kelompok etnik Pamona dari wilayah Poso. Sehingga beberapa pengamat menduga bahwa, orang Parigi dapat digolongkan dalam kelompok etnik Pamona-Poso.
Untuk orang Kaili sekarang mendiami Lembah Palu, berasal dari arah Tenggara ke Utara Barat Daya, yaitu dari daerah sebelah Utara Danau Poso. Ada yang bergerak ke arah Barat dan ke arah Pantai Teluk Tomini, kemudian ke arah Selatan dan Timur lembah Palu hingga pantai Selat Makassar.
To-Balinggi, To-Dolago, To-Sausu, To-Payapi yang berasal dari keturunan atau leluhur To-Tavaeli, rupanya bergerak dari Timur Laut Danau Poso, yang juga menjadi tempat asal To-Pebato, ke arah Pantai Teluk Tomini. To-Parigilah untuk pertama kalinya tiba di pemukiman sekarang, disusul To-Dolago, kemudian To-Balinggi dan pada akhirnya To-Sausu.
Adapun To-ri Palu, To-Biromaru, To-ri Dolo dan To-ri Sigi, rupanya bergerak dari daerah Napu, melintasi Palolo menuju lembah Palu dan menetap di lembah itu.
Dialek Kaili-Ledo adalah bahasa yang besar jumlah penuturnya, mulai dari Tolitoli di sebelah Utara sampai jauh ke Selatan muara sungai Lariang dan Pantai Selat Makassar. Di sebelah Timur dialek Kaili-Ledo itu, juga dipakai pada beberapa tempat di pantai sebelah Barat Teluk Tomini, sampai ke Poso di sebelah Selatan. Juga sekitar semenanjung To-Mori, terdapat pemakai dialek Kaili-Ledo. Pemakai Kaili-Ledo itu, terdapat di daerah yang luas, karena To-ri Palu (tempat asal dialek) termasuk kelompok etnik yng gemar merantau dan berdagang.
Sekelompok pemukim lembah Palu lainnya terdapat jauh ke Selatan, melewati Napu dan lembah sekitar danau, sepanjang lembah Miu ke arah Selatan. Kelompok ini terdiri atas To-Lindu, To-Pakuli, To-Sibalaya, To-Sidondo, To-Bangga dengan cabangnya To- Banggakoro. Juga To-Tobaku diduga masuk dalam kelompok ini. Adapun To-Kulavi ketika melihat pada bahasa dan kebudayaannya, rupanya tidak termasuk dalam kelompok tersebut. Kemungkinan nenek moyang To-Kulavi berasal dari sebelah Barat, melewati Napu menyeberangi Sibaronga-Range dan akhirnya menetap di lembah Kulavi.
Di samping kelompok-kelompok tersebut di atas, masih terdapat lagi kelompok yang termasuk dalam To-ri Palu dan To-ri Loli, dengan dialek Kaili Unde dan To-Ganti dengan dialek Kaili Ndepu`u. Kelompok ini berdiam di sebelah Barat lembah Palu.
Pada bagian Utara Palu dan Parigi, masyarakat To-Tavaeli menamakan bahasa yang dipakainya sebagai bahasa (dialek) Kaili-Rai. Besar dugaan pada To-Tavaeli yang berasal dari lembah Palu, pindah ke Utara sepanjang Pantai Barat hingga ke Balaesang.\uf03c

Free picture PMZ; Zaman Terjadinya Lembah Palu Tanah Kaili integrated with the OffiDocs web apps


Free Images

Use Office Templates

×
Advertisement
❤️Shop, book, or buy here — no cost, helps keep services free.