GoGPT GoSearch New DOC New XLS New PPT

OffiDocs favicon

Zaman Pergerakan, Penjajahan dan Revolusi Fisik di Palu

Free download Zaman Pergerakan, Penjajahan dan Revolusi Fisik di Palu free photo or picture to be edited with GIMP online image editor

Ad


TAGS

Download or edit the free picture Zaman Pergerakan, Penjajahan dan Revolusi Fisik di Palu for GIMP online editor. It is an image that is valid for other graphic or photo editors in OffiDocs such as Inkscape online and OpenOffice Draw online or LibreOffice online by OffiDocs.

Bagian V
Zaman Penjajahan, Pergerakan
Dan Revolusi Fisik di Palu



Penjajahan dan Pergerakan
Sebelum penjajahan Belanda, Bangsa Portugis, Spanyol, India dan Cina yang banyak mengadakan hubungan dengan Magau Kaili, melalui pelabuhan Labuan, Pantoloan, Donggala, Vani dan Palu (Limbuo). Sehingga ada yang mencatat bahwa, peninggalannya berupa bentuk pakaian Portugis yang masih kita lihat pada masyarakat Kulavi, berupa Mbesa India dan Keramik Cina.
Disamping itu, daerah ini juga telah mendapat kunjungan dari orang Melayu, Bugis-Makassar, Mandar, Kutai dan orang Minahasa. Selanjutnya orang-orang ini, masuk ke daerah pedalaman menempati wilayah tanah Kaili. Di sana mereka hidup dan berketurunan, hingga menyebar ke kampung-kampung yang menurut mereka dapat di tempati.
Hal ini dapat dilihat dari paras muka turunannyapun, mempunyai perbedaan dengan masyarakat Kaili asli pedalaman. Mereka mempunyai warna kulit lebih bersih dan dalam pola prilaku sehari-hari sampai pada selera makannyapun mempunyai perbedaan.
Demikianlah hubungan Kaili zaman itu, memperlihatkan hubungan harmonis dengan negeri luar dan daerah tetangga. Hubungan itu terjalin baik terutama di bidang perdagangan. Kebutuhan untuk ke dua belah pihak secara timbal balik dilakukan dengan aman dan sentosa.
Mulai tahun 1850, zaman gemilang ini meninggalkan tanah Kaili. Pemerintah Belanda di bawah pimpinan Kapten Vanader Hart mendarat di Pantai Parigi, menyodorkan naskah perjanjian (lange verdragt) kepada Magau (Raja) Parigi Iskandar Abd. Mohamad untuk ditandatangani. Sesudah itu, utusan Gubernur Belanda di Makassar zaman Komisaris Van Schele dan Tobias pada tanggal 7 \u2013 8 Juli 1854, memaksa pada magau yang tergabung di dalam wilayah Sulawesi Tengah khususnya di tanah Kaili untuk menandatangani Kontrak Pengakuan Kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda .
Kontrak Pengakuan itu ditandatangani oleh Magau Palu Lamakaraka, Magau Tavaeli Noeroedin dan Magau Banava La Sabanava. Meskipun naskah pengakuan itu telah ditandatangani, magau-magau tanah Kaili masih mempunyai jiwa kepemilikan atas negeri mereka. Sikap magau-magau itu, dianggap oleh Pemerintah Belanda sebagai sikap peralawanan, maka di tahun 1888 Pemerintah Belanda mengirim pasukan Marsoso yang diangkut dengan tiga unit kapal perang. Kapal-kapal itu menembakkan meriamnya ke pantai Kayumalue yang banyak menimbulkan korban, sehingga Magau Tavaili yang bernama Langge Bodu (Toma Itanggu), terpaksa menandatangani Plakat panjang pada tanggal 26 Juni 1888.
Kemudian pemaksaan menandatangani Kontrak Pengakuan Kekuasaan Hindia Belanda belanjut kemudian pada Magau Palu Yojokodi (Toma Isima) tanggal 1 Mei 1888, Magau Banava Makagili tanggal 2 Mei 1888, Langge Bodu (Toma Itanggu) Magau Tavaeli tanggal 1 Mei 1888 dan Magau Biromaru beserta Dewan Adatnya pada tanggal 8 Agustus 1891. Demikian pula Magau Sigi bersama Dewan Adatnya menandatangani pengakuan kekuasaan pemerintah Belanda atas negeri mereka pada tanggal 9 Agustus 1891. Magau Dolo bersama Dewan Adatnya menandatangani pengakuan itu pada tanggal 14 Agustus 1891 dan Ijengi Tonambaru Magau Parigi menandatangani Plakat Panjang dengan perjanjian pengakuan Belanda atas negeri mereka pada tanggal 29 Agustus 1897.
Dengan ditandatanganinya pengakuan kekuasaan Belanda oleh magau-magau tanah Kaili, juga magau-magau lain di Poso, di Buol dan Tolitoli atas negeri mereka, maka secara resmi kekuasaan Pemerintahan Belanda mengikat magau-magau itu untuk melaksanakan pemerintahan negeri mereka atas nama Belanda. Pemerintah Hindia Belanda selanjutnya menempatkan di negeri-negeri itu pejabat pemerintahan Binneenlands Bestur yang disebut Controleur atau Gezaghebbar mendampingi Magau dalam menjalankan pemerintahan.
Untuk keamanan para pejabat Belanda, maka ditempatkan juga pasukan bersenjata Belanda (Marsose), terutama di negeri-negeri yang dipandang rawan karena Magaunya belum mampu mentaati sepenuhnya kekuasaan Belanda atas negerinya.
Demikianlah maka dibeberapa tempat terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Belanda yang di pimpin oleh Magau atau keluarga bangsawan setempat. Perlawanan bersenjata pada zaman permulaan kekuasaan Belanda di tanah Kaili, dilakukan antara lain oleh Karaja Lemba di Sigi, Malonda di Gunung Bale Donggala, Tombolotutu di Moutong dan Intovoalangi di Kulavi.
Benih-benih perlawanan itu merupakan sifat anti penjajahan menjadi catatan yang sangat penting bagi kehidupan politik orang Kaili dikemudian hari. Karena dari modal semangat kemerdekaan tetap terpelihara dalam kalangan To-Kaili menjelang lahirnya kesadaran berbangsa (Indonesia) yang dipelopori oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional melalui partai-partai politik yang sampai di tanah Kaili.
Di Palu sebagai tempat pemusatan perlawanan bawah tanah atau tersembunyi yang ditumbuhkan oleh masyarakat, menyebar ke daerah-daerah Tomini, Tolitoli, Kulavi, Sigi, Parigi, Bunta, Banggai, Poso, Lore di Sulawesi Tengah seperti yang diungkapkan oleh Walentyn (1724) sebagai berikut : \u201cPalu ini adalah sarang orang-orang pemberontak, tempat mengadakan rapat oleh orang-orang Muslim pengacau, yang datang ke sini dari berbagai tempat. Lalu dari sini berangkat ke mana-mana ke seluruh daerah, menyebarkan bibit-bibit perlawanan dan kekacauan. Dengan demikian dimana- kapan saja mereka mempersulit Maskapai \u201c.
Untuk menghindari pertumpahan darah dan permusuhan yang tidak berkesudahan, Magau Sigi, Lamakarate mengirim utusan ke Lando untuk mengajak rakyat Lando (Raranggonau) menerima perdamaian. Setelah utusan kembali dari Lando, tetap pada sikapnya \u201ctidak mau takluk pada Belanda\u201d. Karena sikap yang keras itu, maka pihak Belanda akhirnya mempersiapkan penyerangan ke Lando. Tadulako Lando pun mengumandangkan genderang perang.
Ketika Belanda melancarkan serangan ke Lando, terjadilah perang sengit. Pihak Belanda banyak memakan korban, terkena sumpitan beracun, tombak dan guma. Pihak Landopun banyak berguguran terkena peluru bedil Belanda. Para Tadulako yang terkenal dalam perang itu, disebut nama-nama Lahu Lemba, Tiro Lemba dan Toma Ipedi. Peristiwa ini dikenal oleh masyarakat dengan nama Perang Lando.
Gerakan perlawanan rakyat menentang kekuasaan Kolonialisme dan Imprealisme di daerah Sulawesi Tengah, baik perlawanan Belanda maupun perlawanan terhadap Jepang muncul dalam berbagai bentuk, antara lain :
Perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh rakyat di bawah pimpinan magau terjadi dibebarapa tempat, pada saat pertama kali Belanda hendak menanamkan kekuasaannya di daerah Sulawesi Tengah, serempak mengadakan perlawanan terhadap Belanda, karena tidak mau dijajah oleh bangsa asing/pendatang dari manapun mereka berasal. (Lihat perlawanan Karaja Lemba di Sigi, Malonda di Gunung Bale-Donggala, Tombolotutu di Moutong, Intovoalangi di Kulavi, Kolomboi di Buyumboyo-Poso, Laginda di Balantak dan sebagainya).
Perlawanan bersenjata secara pribadi dilakukan oleh seorang yang bernama Rusulemba atau Tabatoki di Tentena, Pamona Utara. Rusulemba alias Tabatoki ini terkenal keberaniannya dan tidak mau memetuhi apa yang diperintahkan kepadanya. Akhirnya dia dapat ditangkap, dimasukkan ke dalam penjara dan meninggal di tempat tahanannya.
Perlawanan secara diam-diam muncul pada saat kekuasaan Kolonialisme dan Imprealisme telah berjalan lama di daerah Sulawesi Tengah.
Para magau yang berkuasa pada umumnya diangkat oleh Belanda dan telah menandatangani perjanjian atau kontrak kerjasama dengan penjajah. Para Magau/magau yang menjadi alat pemerintah penjajah ini, tidak lagi mengikuti sistem pemerintahan kerajaan yang berdasarkan hukum adat setempat yang telah melembaga, tetapi melakukan pemerintahan menurut peraturan-peraturan yang di buat oleh pemerintah penjajah (Belanda), sesuai dengan cita-cita kolonialnya ingin memperoleh kekayaan dari daerah jajahannya.
Saat itu keadaan di Sulawesi Tengah diwarnai oleh persaingan antar kerajaan (kemagauan) untuk memperluas wilayah dan memperkokoh hegemoni dikawasan itu. Awal abad XX tahun 1903-1918 pulau Sulawesi dibagi menjadi 2 bagian, sebagai berikut :
1.\tGebernuran Makassar dengan Ibukotanya Makassar, terdiri dari beberapa Afdeeling-Afdeeling dan Onder Afdeeling-Onder Afdeeling. Salah satu Afdeelingnya bernama Afdeeling Oast Celebes dengan Ibukotanya Bau-Bau, yang membawahi juga :
-\tOnder Afdeeling Banggai, Ibukotanya Luwuk yang terdiri dari Banggai Darat dan Banggai Laut;
-\tOnder Afdeeling Kolonodale, Ibukotanya Kolonodale.
2.\tKeresidenan Manado dengan Ibukotanya Manado, terdiri atas 2 Afdeeling sebagai berikut :
-\tAfdeeling Manado, Ibukotanya Manado membawahi :
\u2022\tOnder Afdeeling Minahasa, Ibukotanya Manada;
\u2022\tOnder Afdeeling Sangihe, Ibukotanya Talaud;
\u2022\tOnder Afdeeling Bolang Mongondow, Ibukotanya Kotamobagu;
\u2022\tOnder Afdeeling Gorontalo, Ibukotanya Gorontalo;
\u2022\tOnder Afdeeling Buol, Ibukotanya Buol;
-\tAfdeeling Donggala, Ibukotanya Donggala membawahi :
\u2022\tOnder Afdeeling Donggala Ibukotanya Donggala, terdiri dari Landschap Banava dan Landschap Tavaeli;
\u2022\tOnder Afdeeling Poso Ibukotanya Poso, terdiri dari Landschap Poso, Landschap Tojo, Landschap Una-Una dan Landschap Lore;
\u2022\tOnder Afdeeling Palu Ibukotanya Palu, terdiri dari Landschap Palu, Landschap Sigi, Landschap Dolo dan Landschap Kulavi;
\u2022\tOnder Afdeeling Parigi Ibukotanya Parigi, terdiri dari Landschap Parigi dan Landschap Mautong;
\u2022\tOnder Afdeeling Tolitoli Ibukotanya Tolitoli.
Pada tanggal 28 Agustus 1903 dibentuklah Midden Celebes yang pertama dengan Assisten Residen M. J. H. Engelenberg berkedudukan di kota Donggala. Tetapi sebelumnya, Pemerintah Hindia Belanda menyodorkan Surat Kontrak Penyediaan Tanah untuk membangun rumah-rumah Belanda di Donggala. Hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Magau Banava VIII, La Makagili yang berlanjut dengan perang Donggala yang dipimpin La Malonda, Magau Matua Bale.
Peristiwa itu berakhir dengan kekalahan dipihak magau-magau Banava. Magau La Makagili dibuang ke Makassar dan wafat disana. La Malonda ditangkap dan pada akhirnya menyetujui pembangunan rumah-rumah Belanda di lokasi Gunung Bale. Bangunan Belanda tersebut hancur dibom oleh Sekutu dalam Perang Dunia II bersamaan dengan peristiwa pemboman Herosima Jepang. Saat ini bukti puing-puing peninggalan rumah-rumah Belanda, masih terlihat di Gunung Bale Donggala.
Bangsa Barat yang pertama kali mengadakan hubungan dagang dengan para Magau yang berkuasa pada kerajaan-kerajaan di daerah pantai adalah Bangsa Portugis dan Spanyol. Hal ini dibuktikaan dengan adanya peninggalan-peninggalan yang mereka tinggalkan berupa senjata-senjata (meriam Portugis), topi perang yang ditemukan pada beberapa Kerajaan tersebut diatas antara lain di Kerajaan Banggai, Banava, Tavaeli, Buol dan Parigi.
Berdasarkan data yang ada bahwa bangsa Spanyol meninggalkan Parigi sekitar tahun 1663 dengan meningalkan sebuah benteng yang letaknya diperkirakan pada sebuah desa yang bernama Loji sekarang ini.
Tahun 1669 Bangsa Belanda (VOC) mulai mengadakan hubungan dengan magau-magau di Kerajaan Banava, Palu, Tavaeli, Loli dan Sigi. Hubungan magau-magau tersebut dengan VOC adalah berupa hubungan dagang dengan mengadakan kontrak pembelian emas dengan magau-magau di tanah Kaili. Dengan Magau Parigi Belanda mengadakan hubungan dagang untuk menambah emas di daerah itu yang diusahakan oleh Perusahaan Nederland Celebes Maatschappij.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para Kepala Desa dan tokoh-tokoh masyarakat di Kecamatan Ampibabo, Tinombo, Tomini dan Moutong tahun 1977 waktu penulis mengadakan pencaharian data secara di lapangan, pada bagian hulu sungai Tada, sungai Sidowan, sungai Tinombo, sungai Lambuno, sungai Ongka-Malino dan sungai Taopa serta sungai Moutong terdapat bekas-bekas galian para masyarakat/mendulang emas di masa itu. Tempat-tempat itu mereka sebut kota karena dibuat berpetak-petak dari susunan batu-batu dari sungai-sungai tersebut.
Kontrak pembelian emas dari tempat-tempat itu lama dilakukan oleh Belanda karena menurut mereka biaya yang dikeluarkan untuk mengolahnya tidak seimbang/sesuai hasil yang diperoleh. Oleh sebab itu maka cepat-cepat meninggalkan daerah-daerah kegiatan mencari emas itu yang sekarang tinggal bekas-bekasnya saja.
Telah diketahui bahwa Manado (Sulawesi Utara) mulai dikuasai oleh Belanda sekitar tahun 1682 dan Makassar (Sulawesi Selatan) sebelun tahun itu. Berdasarkan data yang ada bahwa pada tanggal 16 s.d 22 Oktober 1965, J.C.D.W. Vander Wijik seorang Pamong P, Magau yang diperbantukan pada Assisten Residen Gorontalo yang datang pertama kali ke daerah Poso (Tentena). Empat puluh tahun kemudian pada tanggal 12 Juli 1869 W.J.N. Michielsen berkunjung pula ke Poso. Kedatangan ke dua orang Belanda tersebut adalah melihat dari dekat keadaan di daerah Tentena sambil menyaksikan keindahan danau Poso (danau Tentena) pada waktu itu. Mereka sempat menginap selama seminggu di daerah ini kemudian pergi dan belum meninggalkan pengaruh apa-apa yang berbau penjajahan sedikitpun.
Pada tanggal 18 Februari 1892 diantar oleh Residen Manado dan Assisten Residen Gorontalo Baron Van Hoefel, Albertus Christian. Dr. Alb. C. Kruyt tiba di Poso dengan Kapal De Raaf. Tugas utama Kruyt adalah sebagai utusan NZG (Nederlands Zending Genootchap) untuk menyebarkan agama Kristen di daerah Sulawesi Tengah khususunya di daerah Pamona. Kondisi masyarakat Pamona (Poso) saat itu dalam keadaan kacau balau, sering terjadi peperangan antar suku. Pengayun adalah sebuah persembahan korban manusia, perkara-perkara tukang sihir dan lain-lain. Untuk mengatasi kondisi itu, Kruyt meminta bantuan kepada Pemerintah Belanda di Manado dan Gorontalo.
Pada tangaal 5 September 1894 tibalah seorang kontroleur pertama yang namanya tidak disebutkan untuk wilayah teluk Tomini Bagian Selatan dan ditempatkan di Mapane. Tanggal 1 Maret 1895 kedudukannya pindah di Poso dan tanggal 18 Maret 1895, Dr. N. Adriani tiba di Poso dan ia disambut oleh Dr. Alb. C. Kruyt.
Alb. C. Kruyt adalah seorang Pendeta dan Antropolog, sedangkan Dr. N. Adriani adalah seorang Ahli Bahasa. Mereka berdua dikenal sebagai misioneris dalam usaha menyebarkan Kristen di daerah Pamona pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Untuk menunjang dan mempercepat proses penyiaran Kristen di Poso ini, mereka mendirikan sekolah-sekolah dengan mendatangkan guru-guru yang juga Pendeta dari Manado, untuk mengajar di tempat itu. Pada tahun 1894 Kolondom mengajar di desa Pancea. Kaligis di Tomasa dan Seke di Buyumbayau.
Mula-mula hubungan Belanda dengan magau-magau Sulawesi Tengah adalah hubungan dagang yang baik dan harmonis. Lama kelamaan hubungan dagang itu menjadi sebuah ikatan dengan disodorkannya oleh Belanda Lange Contract (Perjanjian Panjang) dan Kerte Verklaring (Plakat Pendek).
Setelah penguraian di atas, maka diparagraf ini secara berturut-turut pengambil alihan kekuasaan magau-magau di Sulawesi Tengah oleh Pemerintah Belanda, yang sempat terangkum berikut ini :
Tanggal 5 Juli 1858\tBantilan Syarifudin, Magau Tolitoli menanda tangani akta pengakuan terhadap kekuasaan Belanda.
Tanggal 15 Agustus 1858 \tLange Contract ditanda tangani oleh Muhammad Nur Aladin, Magau Buol.
Tanggal 24 Maret 1863\tMagau Parigi, Ijale menandatangani Lange Contract.
Tanggal 31 Agustus 1864 \tSirajuddin, Magau Buol menanda tangani perjanjian dan pengakuan kekuasaan terhadap Belanda.
Tanggal 11 Desember 1887\tMagau Tojo bernama La Riu dipaksa menanda tangani Lange Contract. Karena Magau Tojo menunjukkan sikap membangkang pada Belanda maka pada tanggal 25 Mei 1897 diulangi lagi menandatangani Lange Contract.
Tanggal 1 Mei 1888\tMagau Palu, Yojokodi alias Toma Sima menanda tangani Lange Contract dengan akte pengakuan pada kekuasaan Belanda.
Tanggal 2 Mei 1888\tLa Makagili, Magau Banava yang berkedudukan di Pantoloan menanda tangani Lange Contract.
Tanggal 4 Agustus 1888\tKontrak dipaksa ditandatangani pada Gaweda, Magau Poso Bawah bersama Ulite Bunga Sawak dan Bengka, kesemuanya magau daerah kerajaan yang ada di Wilayah Poso.
Tanggal 13 Desember 1890\tPatra Turungku, Magau Buol menandatangani Lange Contract dari akte perhubungan dan pengakuan pada kekuasaan Belanda.
Tanggal 8 Agustus 1891\tPerjanjian pengakuan terhadap kekuasaan Belanda ditandatangani oleh Magau Biromaru bersama Dewan Adatnya.
Tanggal 9 Agustus 1891\tMagau Sigi dan Dewan Adatnya dipaksa menandatangani perjanjian pengakuan terhadap kekuasaan Pemerintah Belanda.
Tanggal 14 Agustus 1891\tMagau Dolo dengan Dewan Adatnya dipaksa menandatangani perjanjian pengakuan kekuasaan Pemerintah Belanda.
Tanggal 27 Agustus 1895\tPatrah Turungku menanda tangani lagi Lange Contract.
Tanggal 16 September 1896\tDae Malino, selaku Magau Moutong berkedudukan di Tinombo menanda tangani Lange Contract.
Tanggal 29 Mei 1897\tMagau Parigi, Ijengi dipaksa menandatangani Lange Contract dengan perjanjian mengadakan hubungan dan pengakuan pada Kedaulatan Belanda, sehingga dengan perjanjian ini Kerajaan Parigi makin dikuasai lagi.
Tanggal 27 Pebruari 1899\tKontrak ditandatangani oleh Garuda alias Taurungu, Papa I Tapulu sebagai Kabose Poso.
Tanggal 30 September 1908\tIntovoalangi alias Torengke, Magau Kulavi menandatangani Korte Verklaring. Pada tahun yang sama Magau Banggai, Abdul Rahman menandatangani pula Korte Verklaring setelah melepaskan diri dari kekuasaan Ternate.
Meskipun para magau disebutkan di atas telah menanda tangani perjanjian pengakuan kekuasaan Pemerintah Belanda, para penggantinya kemudian dan saudara-saudaranya yang lain, tidak senang/tidak menyukai Belanda berkuasa di negerinya. Tindakan kekerasan Belanda, mereka lawan dengan kekerasan pula. Timbulah perlawanan-perlawanan terhadap kekuasaan Pemerintah Belanda di daerah-daerah antara lain :
\u2022\tPerlawanan rakyat Donggala dipimpin oleh Magau Gunung Bale bernama Malonda sekitar tahun 1902.
\u2022\tPerlawanan rakyat Moutong dipimpin oleh Magau Tombolotutu tahun 1904.
\u2022\tPerlawanan rakyat Sigi dipimpin oleh Magaunya bernama Karaja Lemba alias Toma I Dompo pada tahun 1905, menyebabkan beliau dibuang ke Jawa dan wafat di Sukabumi.
\u2022\tPerlawanan rakyat Poso dipimpin oleh Magau Tojo bernama Kolomboi pada tahun 1905, menyebabkan beliau dibuang ke Makassar dan meninggal disana.
\u2022\tPerlawanan rakyat Banggai dipimpin oleh Magau Laginda, yang memakan waktu cukup lama (1905-1908).
\u2022\tPerlawanan rakyat Mori dipimpin oleh Magau Marundu II, sekitar tahun 1907.
\u2022\tPerlawanan rakyat Napu (perang Peore) dipimpin oleh Magau Ama (Umana Soli) pada tahun 1907.
\u2022\tPerlawanan rakyat Kulavi dipimpin oleh Magau Intovoalangi alias Toma Torengke sekitar tahun 1908.
Masih banyak lagi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Pemerintah Belanda yang belum terekam dalam naskah ini.
Dari semua perlawanan yang telah disebutkan di atas, dapat dipatahkan oleh Belanda dengan kekuatan senjatanya modern dan menggunakan siasat \u2018adu domba\u2019 di antara sesama magau-magau di Sulawesi Tengah. Pada tahun 1908 seluruh wilayah kerajaan yang ada di Sulawesi Tengah, telah dikuasai oleh Pemerintah Belanda.
Pada awal abad XX (1903-1918) di daerah Sulawesi Tengah, sebagian masuk wilayah Gubernuran Makassar, masuk bagian Afdeeling Cost Celebes dan sebagian daerah lainnya masuk Keresidenan Manado.
Pada tanggal 28 Agustus 1903 terbentuklah Daerah Midden Celebes I dan Donggala dijadikan tempat kedudukan Assisten Residen. Asisten Residen I pada waktu itu ialah M. J. H. Engelenberg, yang sebelumnya menjadi Kontroleur di Poso. Tahun 1905 Belanda membagi pulau Sulawesi menjadi 2 bagian, dengan batas pegunungan Takolekaju di sebelah Selatan danau Tentena. Sulawesi Selatan dengan Ibukota Makassar ditempatkan seorang Gubernur. Di Sulawesi Utara dengan Ibukota Manado ditempatkan seorang Residen.
Afdeeling Donggala yang menjadi wilayah dari Keresidenan Manado, meliputi 5 buah Onder Afdeeling yaitu :
\u2022\tOnder Afdeeling Donggala Ibukota Donggala;
\u2022\tOnder Afdeeling Palu Ibukota Palu;
\u2022\tOnder Afdeeling Tolitoli Ibukota Tolitoli;
\u2022\tOnder Afdeeling Poso Ibukota Poso;
\u2022\tOnder Afdeeling Parigi Ibukota Parigi;
\u2022\tOnder Afdeeling Banggai dan Onder Afedeling Kolonodale yang masuk wilayah Afdeeling Cost Celebes dengan Ibukota Bau-Bau.
Pada tahun 1919 wilayah Sulawesi Tengah di bagi lagi menjadi 2 Afdeeling yaitu :
Afdeeling Donggala dengan Ibukota Donggala yang terdiri dari :
\u2022\tOnder Afdeeling Donggala Ibukota Donggala;
\u2022\tOnder Afdeeling Palu Ibukota Palu;
\u2022\tOnder Afdeeling Tolitoli Ibukota Tolitoli;
\u2022\tOnder Afdeeling Buol Ibukota Buol.
Afdeeling Poso dengan Ibukota Poso terdiri dari :
\u2022\tOnder Afdeeling Poso Ibukota Poso;
\u2022\tOnder Afdeeling Parigi Ibukota Parigi;
\u2022\tOnder Afdeeling Kolonodale Ibukota Kolonodale;
\u2022\tOnder Afdeeling Banggai Ibukota Banggai.
Dari tahun 1919 \u2013 1938 di daerah Sulawesi Tengah dijumpai kerajaan-kerajaan sebagai berikut :
Di Onder Afdeeling Donggala\t:\tKerajaan Banava dan Tavaeli
Di Onder Afdeeling Palu\t:\tKerajaan Palu, Sigi, Biromaru, Dolo dan Kulavi
Di Onder Afdeeling Poso\t:\tKerajaan Tojo, Poso, Lore dan Una-Una
Di Onder Afdeeling Parigi\t:\tKerajaan Parigi dan Moutong
Di Onder Afdeeling Kolonodale\t:\tKerajaan Mori dan Bungku
Di Onder Afdeeling Banggai\t:\tKerajaan Banggai (Banggai Darat dan Banggai Laut)
Di Onder Afdeeling Tolitoli\t:\tKerajaan Tolitoli
Di Onder Afdeeling Buol\t:\tKerajaan Buol
Tahun 1938-1942 dijumpai kerajaan-kerajaan sebagai berikut :
Di Onder Afdeeling Donggala\t:\tKerajaan Banava dan Tavaeli
Di Onder Afdeeling Palu\t:\tKerjaan Palu, Sigi, Biromaru, Dolo dan Kulavi.
Di Onder Afdeeling Poso\t:\tKerajaan Tojo, Poso, Lore dan Una-Una
Di Onder Afdeeling Parigi\t:\tKerajaan Parigi dan Moutong
Di Onder Afdeeling Kolonodale\t:\tKerajaan Mori dan Bungku
Di Onder Afdeeling Banggai\t:\tKerajaan Banggai (Banggai Darat dan Banggai Laut)
Di Onder Afdeeling Tolitoli\t:\tKerajaan Tolitoli.
Kerajaan Buol masuk wilayah Afdeeling dan Onder Afdeeling Gorontalo.
Daerah bekas Kerajaan Buol, secara resmi masuk kembali dalam wilayah daerah Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 1960 setelah diadakannya serah terima antara Residen Koordinator Sulawesi Utara Nani Wartabone dengan Residen Koordinator Sulawesi Tengah R. M. Kusno Dhanupoyoh. Sesudah dikeluarkannya UU No. 29 Tahun 1959 yang merubah status Sulawesi Tengah dari 2 Kabupaten (Donggala dan Poso) menjadi 4 Kabupaten (Donggala, Poso, Buol Tolitoli dan Luwuk Banggai). Selama kekuasaan Pemerintah Belanda di daerah ini, kerajaan-kerajaan tersebut di atas berstatus sebagai Zelfbestuurende Landschappen.
Sistem Pemerintahan Kerajaan dengan jumlah wilayah kekuasaan seperti di atas, berlangsung pula selama kekuasaan Pemerintahan Militer Jepang (1942-1945), hingga zaman Kemerdekaan sampai pada saat dihapuskannya Pemerintahan Swapraja Magau di seluruh Indonesia sekitar tahun 1951.
Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh tokoh masyarakat, cendekiawan, tokoh pemuda dan tokoh agama pada beberapa kerajaan menentang masuknya Belanda awal abad XX, merupakan embrio hadirnya Gerakan Kemerdekaan di daerah ini.
Magau-magau yang mengendalikan pemerintahan sesudah itu adalah magau-magau yang telah diangkat oleh Pemerintah Belanda dan telah terikat oleh perjanjian pengakuan kekuasaan padanya.
Sesudah tahun 1908, Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah sebagai tempat mendidik calon pegawai untuk kepentingan politik kolonialnya di seluruh daerah kerajaan ditaklukannya.
Sekitar 1918 Serikat Islam (SI) masuk ke Sulawesi Tengah yang dibawa tokoh-tokoh pendirinya yang berasal dari pulau Jawa seperti Hos Cokroaminoto dan Abdul Muis. SI kemudian berubah menjadi PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) yang merupakan sebuah organisasi dakwah dan politik, dengan cepat mendapatkan pengikut yang besar.
Tahun 1930 berdirilah Perguruan Islam Alkhaeraat yang dipimpin oleh H. Syech Idrus Bin Salim Aldjufri di Palu. Tahun 1932 Muhammadiyah masuk di Sulawesi Tengan bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan mendirikan pula sekolah-sekolah untuk dijadikan media dakwah pengembangan Islam di daerah ini.
Melalui sekolah-sekolah itu, baik yang didirikan SI (PSII), Alkhaeraat maupun Muhammadiyah kalangan muda mendapatkan didikan dalam memperdalam ilmu agama Islam. Kesadaran nasional mulai muncul dari kalangan pelajar, baik mereka yang dididik di sekolah-sekolah agama itu maupun melalui sekolah yang didirikan Belanda sendiri.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda melalui aparat-aparatnya, makin menekan dan menyulitkan rakyat. Yang sangat berat dirasakan adalah membayar pajak dan melakukan kerja rodi atau yang lebih dikenal dengan istilah Herendienst.
Inilah masalah yang menjadi penyebab utama hadirnya perlawanan-perlawanan di Salumpaga, di Tolitoli tahun 1919 yang dipimpin oleh Hi. Hayun dan kawan-kawan yang menyebabkan terbunuhnya Kontroleur De Cat Angelina, dan pemberontakan Dolago (Parigi) tahun 1936 dipimpin oleh Abdul Wachid Toana (Aji Toana) dan Marjun Habbie.
Untuk membina dan mengkoordinasikan para pemuda menyosong masa depan yang lebih baik, maka SI (PSII) mendirikan Syarikat Islam Afdeeling Pandu (SIAP) dan Muhammadiyah mendirikan Hisbul Wathan (HW). Melalui wadan Pandu dan sekolah-sekolah yang di bentuk kader-kader pemuda, kemudian tampil di era Perjuangan dan Pergerakan Kemerdekaan.
Era ini hadir gerakan pemuda yang diberi nama Gerakan Merah Putih. Pengambilalihan kekuasaan dari tangan Pemerintah Belanda dilakukan para pemuda yang tergabung dalam Merah Putih ini, terjadi di 3 tempat pada bulan Februari 1942 yakni di Tolitoli, Luwuk dan Ampana.
Gerakan Merah Putih dalam merebut kekuasaan di tiga daerah, karena adanya pengaruh Gerakan Merah Putih di Gorontalo yang dipimpin oleh Nani Wartabone (Peristiwa tanggal 23 Januari 1942 di Gorontalo).
Utusan Nani Wartabone ke Buol dan Tolitoli untuk menggerakkan para pemuda di tempat itu. Seorang anggota polisi bernama I. D. Awuyu, Dai Wartabone dan Ismail Kamba sebagai utusan ke Ampana menemui Magau Tojo Tanjumbulu, kemudian utusan itu ke Luwuk untuk menemui R. M. Kusno Dhanupoyo.
Hal ini sangat penting diketahui bahwa gerakan pemuda (Gerakan Merah Putih) telah menaikan Bendera Merah Putuh di tempat-tempat seperti pada tanggal 1 Februari 1942 telah dinaikkan di atas tiang di depan Kantor PSII di Desa Lonti (Tolitoli), tanggal 12 Februari 1942 di depan bekas Kantor Gezaghebber F. Walrabe di Luwuk dan pada tanggal 12 Februari 1942 di depan Kantor Magau Tojo Tanjombulu di Ampana. Jadi 3 1/2 (tiga setengah) tahun sebelun Sang Saka Merah Putih dinaikkan di Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, ketika Bung Karno dan Bung Hatta mem-Proklamirkan Kemerdekaan Indonesia di seluruh dunia, di Sulawesi Tengah Bendera Merah Putih itu telah dikibarkan di atas tiang. Hal ini menjadi begitu penting diketahui sebagai ungkapan \u2018fakta sejarah\u2019 di daerah Sulawesi Tengah ini.
Pada tanggal 15 Mei 1942 Pemerintah Militer Jepang masuk ke Luwuk dan mengambilalih kekuasaan Pemerintahan Nasional / Komite 12 Daerah Banggai dari S. Amir Magau Banggai pada tanggal 17 Mei 1942.
Di Tolitoli dan Ampana para pejuang gerakan Merah Putih di bulan Februari 1942 sebelum Jepang masuk, kekuasaan ditangan kelompok Merah Putih direbut kembali oleh Pemerintah Belanda. Di Tolitoli tentara Belanda dari Donggala masuk menumpas mereka dan juga di Ampana tentara Belanda yang masuk dari Poso. Sedangkan di Donggala dan Poso, tentara Belanda banyak menetap tinggal di tempat itu. Olehnya, ketika tentara Jepang datang pertama kali di Poso, terjadi pertempuran sengit antara Belanda-Jepang di Mori Desa Topaku.
Selama Jepang berkuasa yang dikenal kekejamannya pada saat-saat mendekati kekalahannya tahun 1945, rakyatpun mengadakan perlawanan antara lain :
a.\tDi Salinggoha Walea Kepulauan, muncul perlawanan yang dipimpin Talhata Darise
b.\tDi Balantak Ranga-Ranga (Kabupaten Banggai), muncul perlawanan dipimpin oleh Mantide
c.\tDi Malomba (Tolitoli), perlawanan rakyat terhadap Jepang dan membunuh Ken Karikan I Maki di tempat itu yang dilakukan oleh Lanoni
Pada peringatan HUT Kemerdekaan R.I. 17 Agustus 1950, tugu peringatan itu diberi nama Tugu Proklamasi dan pada tahun 1974 diganti lagi menjadi Tugu Pancasila, disponsori tokoh-tokoh Pergerakkan dari Bunta dan Pagimana. Sedangkan di Luwuk, terjadi perebutan kekuasaan dari tangan Pemerintah Belanda.
Setelah mengadakan persiapan yang cukup matang, dan usulan dari aparat Pemerintah Indonesia menyokong cita-cita Kemerdekaan, maka pada tanggal 12 Februari 1942, Gerakan Pemuda Merah Putih merebut kekuasaan dari tangan Gezabhebber F. Wakrabe yang didahului penangkapan para pegawai Bangsa Indonesia yang masih setia kepada Belanda. Mulanya mereka merebut dan mengusai Stasiun Radio dan Kapal S.S Urabia yang sedang berlabuh di pelabuhan Luwuk. Pukul 10.00 pagi, pada saat yang sama mereka berkumpul di depan bekas Kantor Gezaghebber F. Walrabe, menurunkan berdera Merah-Putih-Biri. Setelah mengguntuing warna birunya, mereka menaikkan bendera Merah Putih yang diiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Perebutan kekuasaan di Luwuk ini banyak memakan korban, seperti terjadi pula di Tolitoli dan Ampana. Bulan Februari - Mei 1942, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh Pemerintahan Nasional / Komite 12 Daerah Banggai yang di Kepalai oleh Magau Banggai bernama S. A. Amir.
Pada tanggal 15 Mei 1942, tentara Jepang masuk di Luwuk dan tanggal 17 Mei 1942 Jepang mengambil alih kekuasaan Pemerintahan dari S. A. Amir selaku Pimpinan Pemerintahan. Saat inilah Jepang mulai berkuasa di Banggai.
Di Ampana Ibukota Kerajaan Tojo, perebutan kekuasaan dari tangan Belanda dilakukan sendiri oleh Magau Tanjombulu, setelah datangnya utusan Nani Wartabone dari Gorontalo yaitu Dai Wartabone dan Ismail Kamba yang menemui Magau Tanjombulu. Tanggal 20 Februari 1942 bendera Merah Putih dinaikkan di atas tiang diiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya di depan Kantor Magau Tojo di Ampana. Semua kapal motor dan perahu yang berlabuh di pelabuhan Ampana saat itu, diperintahkan memasang Bendera Merah Putih. Berita dinaikkannya Bendera Merah Putih di Ampana, di dengar oleh Pemerintah Belanda di Poso.

Revolusi Fisik
Perebutan kekuasaan dilakukan dengan sebutan Revolusi Fisik dari tangan Pemerintah Belanda oleh Gerakan Pemuda Merah Putih di Sulawesi Tengah, terjadi di tiga tempat sekitar akhir bulan Januari dan awal bulan Februari 1942.
Pada malam tanggal 25 Januari 1942, terjadi perebutan kekuasaan dari tangan Pemerintah Belanda yang dilakukan oleh Gerakan Pemuda Merah Putih di Tolitoli. Mereka menembak mati seorang Inspektur Polisi Belanda bernama Boertje dan menawan Kontroleur Tolitoli De Hoof dan Kontroleur Buol De Vries. Anggota Kepolisian Belanda waktu itu, mulai kehilangan perlawanan kemudian memihak dan membantu Gerakan Pemuda Merah Putih. Keberhasilah Revolusi Fisik ini dalam merebut kekuasaan, nampak pada terbentuknya Pemerintahan Sementara yang berada dipihak Gerakan. Pada tanggal 1 Februari 1942, Gerakan ini menaikkan Bendera Merah Putih di atas tiang di depan Kantor PSII di desa Lonti, diiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Yang menjadi penggerek bendera saat itu ialah M. Nawir Haji Hamid dan Abubaeda. Berita ini segera di dengar oleh Pimpinan Pemerintah Belanda di Donggala. Menjelang pertengahan di bulan Februari 1942, datanglah pasukan tentara Belanda dari Palu yang dipimpin Letnan Herberts, langsung mengepung tempat itu. Peristiwa ini, gugur 7 anggota Gerakan Pemuda Merah Putih yaitu : I. D. Awuy, Waani, Makaleo, Piring, Siswoyo, Suparman dan Languju. I. D. Awuy tertembak mati oleh Sersan Walingha di belakang Penjara Leok, sedang melakukan perjalanan ke Gorontalo, dan 6 lainnya ditangkap. Mereka di bawa dan ditembak mati di Panasakan. Tahun 1961 jenazah mereka di pindahkan ke Taman Makam Pahlawan di Tolitoli. Nama mereka tercantum pada sebuah Tugu Peringatan di depan Kantor Bupati Daerah Tingkat II Tolitoli.
Tanggal 29 Februari 1942 pukul 23.00 malam, tibalah pasukan tentara Belanda dari Poso di bawah Pimpinan Kontroleur Hasden dan Kapten Abink yang langsung menyerang Markas Induk Pasukan Merah Putih di Kompleks Kantor Kerajaan Tojo. Dua orang pengawal Bendera ditembak dan gugur di tempat, masing-masing bernama Nggai (Papa Jubaedah) dan Salibu (Papa Dero). Sebagian Pemuda Merah Putih ditawan dan dipenjarakan di Poso. Lima orang diantaranya, ditembak di atas motor, masing-masing bernama Hasyim Rivai, Madi Muhammad, Abdul Samad dan Angki Malotto. Mayat ke lima orang itu, oleh Belanda di buang ke laut. Magau bersama keluarga dan Pimpinan gerakan lainnya, malam itu juga mengundurkan diri ke Desa Petingko (tempat pengburan rakyat di kaki gunung). Magau bersama keluarganya di bawah pengawalan ketat dari Komando pasukannya di Tanjung Api, kemudian Kelingkinari (P.P. Togian) dan selanjutnya ke Gorontalo. Magau dan keluarganya kembali ke Ampana pada bulan Juni 1942, setelah Jepang berkuasa di Sulawesi Tengah.
Dipenghujung tahun 1942, kekuasaan Pemerintah Belanda makin susut, semangat perjuangan Pemuda makin meningkat, rasa kesatuan dan persatuan dibina. Mengadakan hubungan dengan organisasi-organisasi dari pulau Jawa dengan tujuan untuk ikut serta mencapai Indonesia Merdeka. Maret tahun 1942 dengan berakhirnya Pemerintahan Belanda di Indonesia, magau-magau dan rakyat Sulawesi Tengah merasa gembira dan legah terlepas dari penjajahan Belanda, kemudian kekuasaan Pemerintahan pada setiap daerah beralih kembali sepenuhnya kepada magau-magau atau raja-raja.
Namun kegembiraan itu hanya dalam sekejab, karena Jepang mulai masuk ke Indonesia bulan Mei 1942. Donggala merupakan kota pertama diduduki oleh Pemerintah Jepang, yang lebih kejam dari Belanda.
Pada tahun 1945 di Tolitoli tepatnya tanggal 12 Juni, rakyat Bampula membunuh seorang Polisi Jepang bernama Krek. Tanggal 18 Juli 1945 Ken Kanrikan Imaki dari Tolitoli ke Desa Malomba, karena mendengar bahwa rakyat Malomba akan memberontak melawan Jepang. Imaki dikawal oleh pasukan Tentara dan Polisi dengan memakai motor laut segera ke Malomba. Dengan naik gerobak bersama Magau Tolitoli Mohammad Saleh Bantilan, Imaki dari Desa Tinabogan ke Malomba yang dikawal oleh 2 orang Polisi bernama Hamlet Semen dan Makalo.
Lanoni waktu itu telah bertekad bahwa siapa saja orang Jepang yang lewat di hadapannya, akan ia bunuh. Ketika Imaki lewat dihadapannya, Lanoni langsung memancung leher Imaki, saat itupun Imaka tewas. Melihat peristiwa itu, Makalo langsung menembak Lanoni dan ia pun jatuh kemudian meninggal seketika.
Karena peristiwa itu, Polisi dan Tentara Jepang yang berada di motor langsung menembak orang-orang disekitarnya. Banyak rakyat yang menjadi korban. Tanggal 21 Juli 1945, Pemerintah Jepang melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh Malomba yaitu : Bebelan, Taniangka, Hi. Hamzah, Amat, Bacoleno, Abdul Wahab, Usman, Adam Labudu dan Labudu. Kesembilan tokoh itu, dengan tangan diborgol di bawa ke Tolitoli di Desa Panasakan. Disini mereka dipancung mati dan kemudian dikuburkan dalam satu lobang. Sekarang kerangka dari kesembilan tokoh itu, oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Tolitoli dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan di Tolitoli.
Perlawanan rakyat lainnya terhadap Pemerintah Jepang, terjadi pula di Balantak dan Ranga-Ranga (Kabupaten Banggai) yang di Pimpin oleh Mantide di Salinggoba, di Kecamatan Walea Kepulauan dipimpin oleh Abe Pande dan Tarico Hio.
Selama Pemerintah Jepang, para pegawai Belanda yang diangkat kembali menjadi pegawai Jepang, melakukan fitnah dan balas dendam. Hal ini menyebabkan banyak tokoh Gerakan Pemuda Merah Putih yang merebut kekuasaan Belanda awal tahun 1942, berhasil dan disiksa. Seperti banyak yang dipancung, seperti mengundang Magau Tojo Tanjumbulu dan beberapa tokoh lain.\uf03c

Free picture Zaman Pergerakan, Penjajahan dan Revolusi Fisik di Palu integrated with the OffiDocs web apps


Free Images

Use Office Templates

×
Advertisement
❤️Shop, book, or buy here — no cost, helps keep services free.